Rabu, 22 Juni 2011

PEDIHNYA SIKSA API NERAKA


 DEFINISI NERAKA

     Neraka di dalam bahasa arab disebut “an-Nar” yang artinya Api. Neraka di namakan “an-Nar” yang atinya api, karena penghuninya di siksa di dalamnya dengan api yang sangat panaas dan menyala-nyala, mereka juga disediakan tempat tinggal yang terbuat dari api, pakaian terbuat dari api, makanan dan minuman mereka sangat panas seperti api.

DIMANAKAH LETAK NERAKA ?

     Sebagai mana surga adalah tempat orang-orang yang mulia, maka dia berada ditempat yang tinggi lagi mulia, yaitu langit yang ke tujuh. Namun neraka adalah tempat orang-orang yang hina dan rendah, maka ia berada di tempat yang paling rendah.

LUAS DAN DALAMNYA NERAKA

     Neraka jahanam sangat luas dan dalam, sehingga setiap kali di lemparkan manusia dan jin kedalam nya, ia selalu berkata: Masihkah ada tambahan ?
     Dari abu hurairah ia berkata: ”Dahulu ketika kami bersama Rosulullah tiba-tiba kami mendengar sesuatu yang jatuh. Beliau bekata: ”Tahukah kalian suara apa ini”?
     Kami berkata: ”Allah dan Rasula-Nya lah yang lebih mengetahui” beliau bersabda: ini adalah suara batu yang di lempar ke neraka jahanam semenjak tujuh puluh tahun yang lalu, sekarang baru sampai kedasarnya. (HR.Muslim:2844).

BESARNYA TUBUH PENGHUNI NERAKA

      Tubuh penghuni neraka sanagat besar namun bukan untuk di banggakan, karena di besarkannya tubuh mereka agar mereka benar-benar merasakan siksaan dan penderitaan.
      Dari Abu Hurairah , dari nabi bersabda:
      ( Besar) gigi geraham orang kafir atau gigi taring nya (di neraka) seperti gunung uhud, dan tebal kulitnya seperti jarak perjalanan 3 hari. (HR.Muslim: 2851)
      Kulit mereka yang begitu tebal tersebut di bakar dengan api yang menyala nyala hingga kulit itu pun hangus.

BURUKNYA RUPA PENGHUNI NERAKA

      Sebagai mereka adalah manusia yang paling buruk erangainya dan perbuatanyya di dunia, maka Allah membentuk rupa mereka di akhirat dengan rupa yang sangat buruk, yaitu; hitam , muram dan berdebu.
WALLAHUA’LAM.........
Posted by: Ni’am abdillah. ^_^



Keutamaan Menangis Karena Allah ta’ala

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak akan masuk neraka seorang (mukmin) yang menangis karena takut kepada Allah, hingga air susu kembali (masuk) ke payudara.”. (HR. at-Tirmidzi no. 1633, an-Nasai no 3108 dan Ahmad [2/505], dinyatakan shahih oleh al-Albani)
Hadist yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan orang yang menangis karena takut kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Hal ini dikarenakan rasa takut kepada Allah ‘Azza wa Jalla memotivasi seseorang untuk selalu taat kepada-Nya dan menjauhi perbuatan maksiat.1
Beberapa pelajaran penting yang dapat kita petik dari hadist ini:
1.     Arti al-khasyyah adalah ketakutan yang dilandasi keyakinan akan kebesaran dzat yang ditakuti (Allah Jalla wa ‘Ala) dan kesempurnaan kekuasaan-Nya. Oleh karena itu, khasyyah kepada selain Allah ‘Azza wa Jalla termasuk perbuatan syirik besar.2
2.     Menangis karena takut kepada Allah Jalla wa ‘Ala adalah kedudukan tinggi yang dicapai oleh orang-orang yang selalu bersungguh-sungguh berjuang menundukkan hawa nafsunya di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan selalu bertaubat dari perbuatan maksiat.3
3.     Sebagian Ulama ada yang menjelaskan bahwa orang yang menangis karena takut kepada Allah ‘Azza wa Jalla adalah orang yang berilmu dan rajin beribadah kepada Allah Jalla wa ‘Ala. Imam ath-Thibi rahimahullah berkata: “Maksudnya adalah orang yang berilmu, (selalu) beribadah (kepada Allah Jalla wa ‘Ala) dan berjuang menundukkan hawa nafsunya (di jalan Allah Jalla wa ‘Ala), berdasarkan firman-Nya:
إنما يخشى الله من عباده العلماء
Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah orang-orang yang berilmu (mengenai Allah) (QS. Fathir[35]: 28)
(Dalam ayat ini) Allah ‘Azza wa Jalla menghususkan khasyyah (rasa takut) hanya ada pada diri orang-orang yang berilmu dan tidak dimiliki oleh selain mereka”.4
4.     Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “…hingga susu kembali (masuk) ke payudara.” adalah untuk menggambarkan tidak mungkin orang yang menangis karena takut kepada Allah Jalla wa ‘Ala akan masuk neraka.
Wallahu a’lam.
Disalin dari Buletin AL FURQAN Tahun ke-6, Volume 3 No.1 Rajab 1432 H
——————————————————————————————————————————
1.     Lihat Tuhfatul Ahwadzi 5/215
2.     Lihat Syarhu Tsalatsatil Ushul, al-’Utsaimin, hlm. 56
3.     Lihat Tuhfatul Ahwadzi 5/221
4.     Dinukil oleh al-Munawi dalam kitab Faidhul Qadir 3/315

Kunci Sukses Bermu'amalah

Al Husain, menuturkan keluhuran budi pekerti beliau. Ia berkata : Aku bertanya kepada ayahku tentang adab dan etika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap orang-orang yang bergaul dengan beliau. Ayahku mengatakan, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam senantiasa tersenyum, berbudi pekerti luhur lagi rendah hati. Beliau bukan seorang yang kasar, tidak suka berteriak-teriak, bukan tukang mencela, tidak suka mencela makanan yang tidak disukainya. Siapa saja yang mengharapkannya, pasti tidak akan kecewa. Dan siapa saja yang memenuhi undangannya, pasti akan senantiasa puas. Beliau meninggalkan tiga perkara, (yaitu) riya, berbangga-bangga diri, dan dari yang tidak bermanfaat. Dan beliau menghindarkan diri dari manusia karena tiga perkara, (yaitu): beliau tidak suka mencela atau memaki orang lain, beliau tidak suka mencari-cari aib orang lain, dan beliau hanya berbicara untuk suatu maslahat yang bernilai pahala. Jika berbicara, pembicaraan beliau membuat teman-teman duduknya tertegun, seakan-akan kepala mereka dihinggapi burung (karena khusyuknya). Jika beliau diam, barulah mereka berbicara. Mereka tidak pernah membantah sabda beliau. Bila ada yang berbicara di hadapan beliau, mereka diam memperhatikannya sampai ia selesai bicara. Pembicaraan mereka di sisi beliau hanyalah pembicaraan yang bermanfaat saja. Beliau tertawa bila mereka tertawa. Beliau takjub bila mereka takjub, dan beliau bersabar menghadapi orang asing yang kasar ketika berbicara atau ketika bertanya sesuatu kepada beliau, 

Siapakah Yang Layak Diberi Amanah?

Al Imam Ibnu al Atsir rahimahullah berkata, amanah bisa bermakna ketaatan, ibadah, titipan, kepercayaan, dan jaminan keamanan. Begitu juga al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah membawakan beberapa perkataan dari sahabat dan tabi’in tentang makna amanah ini. Ketika menafsirkan surat al Ahzab ayat 72, al Hafizh Ibnu Katsir membawakan beberapa perkataan sahabat dan tabi'in tentang makna amanah dengan menyatakan, makna amanah adalah ketaatan, kewajiban-kewajiban, (perintah-perintah) agama, dan batasan-batasan hukum. Asy Syaikh al Mubarakfuri rahimahullah berkata,"(Amanah) adalah segala sesuatu yang mewajibkan engkau untuk menunaikannya” . Adapun menurut asy Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman -hafizhahullah-amanah adalah, kepercayaan orang berupa barang-barang titipan, dan perintah Allah berupa shalat, puasa, zakat dan semisalnya, menjaga kemaluan dari hal-hal haram, dan menjaga seluruh anggota tubuh dari segala perbuatan dosa. Sedangkan asy Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali -hafizhahullah- menjelaskan, amanah adalah sebuah perintah menyeluruh dan mencakup segala hal berkaitan dengan perkara-perkara, yang dengannya, seseorang terbebani untuk menunaikannya, atau ia dipercaya dengannya. Sehingga amanah ini mencakup seluruh hak-hak Allah atas seseorang, seperti perintah-perintahNya yang wajib 

Perhatian Syaikh Al-Albani Terhadap Masalah Remaja

Dikatakan oleh Syaikh DR. ‘Abdul ‘Aziz as-Sadhan bahwa banyak momen penting yang beliau lalui bersama para remaja. Di sini, akan ditampilkan bagaimana kesabaran beliau dalam meladeni kaum muda yang telah terkena virus takfir (mudah mengkafirkan orang), mematahkan syubhat-syubhat (kerancuan landasan pemikiran) mereka. Berikut ini kisahnya: Syaikh Dr. Basim Faishal al-Jawabirah hafizhahullah mulai berkisah: “…Saat itu aku masih belajar di jenjang SMA. Bersama beberapa pemuda, kami mengkafirkan kaum muslimin dan enggan mendirikan sholat di masjid-masjid umum. Alasan kami, karena mereka adalah masyakarat jahiliyah. Orang-orang yang menentang kami, selalu saja menyebut-nyebut nama Syaikh al-Albâni rahimahullah, satu-satunya orang yang mereka anggap sanggup berdialog dengan kami dan mampu melegakan kami dengan argumen-argumen tajamnya serta mengembalikan kami ke jalan yang lurus. Ketika Syaikh datang ke Yordania dari Damaskus, beliau diberitahu adanya sekelompok pemuda yang seringkali mengkafirkan kaum muslimin. Lantas mengutus saudara iparnya, Nizhâm Sakkajha – kepada kami untuk menyampaikan keinginan beliau untuk berjumpa dengan kami. Dengan tegas kami jawab: “Siapa yang ingin berjumpa dengan kami, ya harus datang, bukan kami yang datang kepadanya”. 

Jalan Menuju Kemulian Akhlaq

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah menyebutkan tentang pentingnya para da’i untuk menyampaikan akhlaq yang mulia kepada masyarakat, setelah sebelumnya beliau menyebutkan bahwa prioritas utama dalam dakwah para rasul adalah dakwah menuju tauhid. Beliau berkata: “Saya mengulangi peringatan ini, yaitu dalam pembicaraan tentang penjelasan yang terpenting kemudian yang penting kemudian yang ada di bawahnya, bukan bermaksud agar para da’i membatasi untuk semata-mata mendakwahkan kalimat Thayyibah (Laa ilaaha illa Allah) saja dan memahamkan maknanya saja. Karena setelah Allah menyempurnakan nikmatNya kepada kita dengan menyempurnakan dienNya, maka merupakan suatu keharusan bagi para da’i untuk membawa Islam ini secara keseluruhan, tidak sepotong-sepotong". Risalah ini hanya memuat rambu-rambu akhlaq yang baik, dimulai dari Pengertian akhlaq; Hubungan antara akhlaq, aqidah dan iman; Keutamaan akhlaq yang baik; dan terakhir mengenai Cara memproleh akhlaq yang baik. Sebenarnya masih ada lagi rambu-rambu yang penting untuk dibahas, seperti: Barometer akhlaq yang baik; Syarat akhlaq yang baik; Akhlaq orang-orang kafir, dan lain-lainnya. Hanya saja perlu waktu yang lebih lama lagi untuk mengumpulkan dan tentunya yang lebih sulit adalah mencarinya dari pada ulama’, penuntut ilmu dan kitab-kitab. Meskipun belum maksimal, kami berharap agar risalah ini banyak memberikan manfaat untuk kita semua, dan sebagai perbaikan untuk diri sendiri dan masyarakat. 

Pentingnya Kejujuran Demi Tegaknya Dunia Dan Agama

Allah juga menyifatkan para nabiNya dengan sifat jujur. Lalu Dia mendukung para nabi itu dengan mukjizat dan tanda-tanda agung sebagai bukti kejujuran (kebenaran) mereka, dan untuk menghancurkan kebohongan para musuh Allah. Diantara bentuk dukungan terbesar Allah kepada para nabi, ialah pemusnahan musuh-musuh Allah dengan topan, angin ribut, petir, gempa bumi, ada yang di tenggelamkan ke tanah dan air. Sementara para nabi dan pengikut mereka diselamatkan. Semua ini merupakan bukti dari Allah atas kejujuran para nabiNya, bahwa mereka benar utusanNya dan (sebagai) penghinaan kepada musuh Allah dan musuh para rasul. Diantara para nabi yang disifati dengan sifat jujur dalam Al Qur’an, yaitu: Ibrahim, Ismail dan Idris. Allah menyifatkan mereka dengan sifat jujur. Ini menunjukkan kokohnya sifat itu pada diri mereka. Dan bahwasanya perkataan, perbuatan, janji serta perjanjian-perjanjian mereka, semuanya tegak di atas kejujuran. Semua ayat dalam Al Qur’an, yang dengannya Allah menantang manusia dan jin untuk membuat yang serupa dengannya -namun mereka tidak bisa- merupakan bukti terbesar atas kejujuran Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa dia benar-benar Rasulullah dan penutup para nabi. 

Marah Yang Terpuji

Seseorang yang marah karena perkara-perkara dunia, maka kemarahan seperti ini tercela. Oleh karenanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menasihati seseorang dengan berulang-ulang supaya tidak marah. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, bahwa seorang laki-laki berkata kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam,“Berilah wasiat kepadaku.” Nabi menjawab,“Janganlah engkau marah.” Laki-laki tadi mengulangi perkataannya berulang kali, beliau (tetap) bersabda,“Janganlah engkau marah.” Maka jika seseorang ditimpa kemarahan, jangan sampai kemarahan itu menguasai dirinya. Karena jika telah dikuasai oleh kemarahan, maka kemarahan itu bisa menjadi pengendali yang akan memerintah dan melarang kepada dirinya! Janganlah melampiaskan kemarahan. Karena kemarahan itu sering menyeret kepada perkara yang haram. Seperti : mencaci, menghina, menuduh, berkata keji, dan perkataan haram lainnya. Atau memukul, menendang, membunuh, dan perbuatan lainnya. Tetapi hendaklah mengendalikan diri dan emosinya agar tidak melampiaskan kemarahan, sehingga keburukan kemarahan itu akan hilang. Bahkan kemarahan akan segera reda dan hilang. Seolah-olah tadi tidak marah. Sifat seperti inilah yang dipuji oleh Allah dan Rasul Nya. 

Meningkatkan Nilai Ibadah Seorang Muslim

Rabu, 22 juni 2011 19:33:24 WIB


Al Qadhi ‘Iyadh menerangkan sabda beliau dengan: ‘Kerjakanlah amalan yang kalian sanggup untuk mengerjakannya dengan kontinyu’ . Sementara Imam An Nawawi rahimahullah menyimpulkan dari hadits di atas: ‘Di dalamnya terkandung anjuran untuk kontinyu dalam beribadah, dan amalan yang sedikit (tapi) kontinyu lebih baik daripada amalan banyak tapi ditinggalkan’. Para ulama telah memaksimalkan daya pikir untuk menyibak rahasia mengapa amalan sedikit tapi kontinyu dapat lebih utama dan mulia dibandingkan amalam lain. Di antara keterangan mereka: Al Qurthubi berkata: ‘Sebabnya, amalan yang ringan, bisa dikerjakan dengan berkesinambungan dan hati yang giat, sehingga pahala semakin banyak lantaran terjadinya pengulangan amalan tersebut yang disertai oleh konsentrasi pikirannya. Berbeda dengan amalan yang berat, biasanya disertai dengan terganggunya konsentrasi dan menyebabkan seseorang meninggalkannya’. Sementara itu, Imam An Nawawi memberikan alasan: ‘Amalan sedikit yang langgeng itu lebih baik dari amalan banyak tapi putus di jalan, karena dengan kontinyu dalam satu amalan yang sedikit, bararti ketaatannya kepada Allah juga berlangsung terus-menerus, demikian juga dzikir, muraqabah, niat, keikhjlasan serta sikapnya menghadapkan dirinya kepada Allah berjalan terus. Sehingga yang sedikit tapi kontinyu akan membuahkan hasil yang berlipat-lipat daripada amalan banyak tapi ditinggalkan”. 

Bertetangga Yang Sehat Dan Kiat Menghadapi Tetangga Jahat

Rabu, 22 juni 2011 19:30:23 WIB


Berkaitan tentang cakupan makna berbuat ihsan kepada tetangga, Syaikh Nazhim Sulthan menerangkan: "(Yaitu) dengan melakukan beragam perbuatan baik kepada tetangga, sesuai dengan kadar kemampuan, misalnya berupa pemberian hadiah, mengucapkan salam, tersenyum ketika bertemu dengannya, mengamati keadaannya, membantunya dalam perkara yang ia butuhkan, serta menjauhi segala perkara yang menyebabkan ia merasa tersakiti, baik secara fisik atau moril. Tetangga yang paling berhak mendapatkankan perlakuan baik dari kita adalah tetangga yang paling dekat rumahnya dengan kita, disusul tetangga selanjutnya yang lebih dekat. 'Aisyah pernah bertanya,"Wahai Rasulullah, aku memiliki dua orang tetangga. Maka kepada siapakah aku memberikan hadiah diantara mereka berdua?". Beliau menjawab. "Kepada tetangga yang lebih dekat pintu rumahnya denganmu". Oleh karena itu, Imam Al Bukhari menulis judul bab khusus dalam Shahihnya Bab Haqqul Jiwar Fii Qurbil Abwab (bab hak tetangga yang terdekat pintunya). Ini merupakan indikator kedalaman pemahaman beliau terhadap nash-nash tentang hal ini". Lebih lanjut, Syaikh Nazhim memaparkan,"Tetangga memiliki beberapa kriteria tingkatan: Yang pertama, tetangga muslim yang memiliki hubungan kekerabatan, ia memiliki 3 hak sekaligus, yaitu hak bertetangga, hak Islam dan hak kekerabatan. Yang kedua, tetangga muslim (yang tidak memiliki hubungan kekerabatan), maka ia memiliki 2 hak, yaitu hak bertetangga dan hak Islam. 

BERTEPUK TANGAN MERUPAKAN PERBUATAN JAHILIYAH



Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz



Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apakah bertepuk tangan dalam suatu acara atau pesta diperbolehkan, ataukah itu termasuk pebuatan makruh?

Jawaban
Bertepuk tangan dalam suatu pesta merupakan perbuatan jahiliyah, dan setidaknya perbuatan itu adalah perbuatan yang makruh. Tetapi secara jelas dalil-dalil yang terdapat dalam al-Qur'an menunjukkan bahwa hal itu adalah perbuatan yang diharamkan dalam agama Islam; karena kaum muslimin dilarang mengikuti ataupun menyerupai perbuatan orang-orang kafir. Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah berfirman tentang sifat orang-orang kafir penduduk Makkah,

"Sembahyang mereka di sekitar Baitullah itu, tidak lain hanyalah siulan dan tepukan tangan." [Al-Anfal: 35]

Para ulama berkata, "Al-Muka' mengandung pengertian bersiul, sedangkan At-Tashdiyah mengandung pengertian bertepuk tangan. Adapun perbuatan yang disunnahkan bagi kaum muslimin adalah jika mereka melihat atau mendengar sesuatu yang membuat mereka takjub, hendaklah mereka mengucapkan Subhanallah atau Allahu Akbar sebagaimana yang disebutkan dalam hadits-hadits shahih dari Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam . 

Bertepuk tangan hanya disyariatkan khusus bagi kaum wanita ketika mendapatkan seorang imam melakukan suatu kesalahan di dalam shalat saat mereka melaksanakan shalat berjamaah bersama kaum pria, maka kaum wanita disyariatkan untuk mengingatkan kesalahan imam dengan cara bertepuk tangan, sedangkan kaum pria memperingatkannya dengan cara bertasbih (mengucap kata Subhanallah) sebagaimana yang disebutkan dalam hadits dari Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam . Maka jelaslah bahwa bertepuk tangan bagi kaum pria merupakan penyerupaan terhadap perbuatan orang-orang kafir dan perbuatan wanita, sehingga bertepuk tangan dalam suatu pesta -baik kaum pria maupun wanita- adalah dilarang menurut syariat. Semoga Allah memberi petunjuk.

[Fatawa Mu'ashirah, hal. 67, Syaikh Ibn Baz]


HUKUM BRTEPUK TANGAN DAN BERSIUL DALAM PESTA


Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin



Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa hukum bertepuk tangan dan bersiul dalam suatu acara pesta , perayaan atau pertemuan.

Jawaban
Bertepuk tangan dan bersiul adalah perbuatan yang biasa dilakukan oleh golongan selain muslim, maka dari itu, sudah menjadi keharusan bagi seorang muslim untuk tidak mengikuti perbuatan mereka, melainkan bila ia kagum akan sesuatu, maka hendaklah bertakbir atau bertasbih dengan menyebut nama Allah. Takbir itu tidak pula dilakukan secara bersama-sama sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang, melainkan cukup dengan bertakbir atau bertasbih di dalam diri. Adapun tasbih ataupun takbir yang diucapkan secara bersama-sama, saya belum pernah mendapatkan sumber yang menyebutkan tentang hal itu.

[As'ilah Muhimmah, hal. 28, Syaikh Muhammad bin Utsaimin]

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masail Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Albalad Al-Haram, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penyusun Khalid Al-Juraisiy, Penerjemah Musthofa Aini, Penerbit Darul Haq]

Bahaya bid'ah

1. Dapat Mengantarkan kepada Kekufuran
Diriwayatkan dari Abu Hurairah dari Nabi, beliau bersabda,
“Tidak akan terjadi hari Kiamat sehingga ummatku mengambil (jalan hidup) orang-orang yang sebelumnya sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Lalu ditanyakan, ” Apakah seperti orang-orang Persia dan Romawi? Maka beliau menjawab, “Orang yang mana lagi kalau bukan mereka.” (HR. al-Bukhari)
Demikian pula dalam hadits dari Abu Said al-Khudri , Rasulullah juga bersabda,
“Sungguh kalian benar-benar akan mengikuti jalan hidup orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sekalipun mereka masuk ke dalam lobang biawak kalian akan ikut memasukinya juga.” Kami (para sahabat, red) bertanya, ” Apakah mereka itu yahudi dan nasrani?” Maka beliau menjawab,”Siapa lagi (kalau bukan mereka).” (Muttafaq ‘alaih)
Jika yang diikuti adalah prinsip-prinsip pokok yang dapat menggu gurkan keimanan maka jelas orang yang melakukannya dapat terjerumus ke dalam riddah (keluar dari Islam).
2. Ucapan Atas Nama Allah dengan Tanpa Ilmu
Jika kita memperhatiakn ahli bid’ah, maka kita dapati bahwa mereka adalah orang yang banyak berdusta dengan mengatasnamakan Allah dan Rasul-Nya. Padahal Allah sudah memperingatkan melalui firman-Nya, artinya,
“Seandainya dia (Muhammad) mengadakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, Niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya.” (QS. al-Haaqah:44-46).
Rasulullah juga mengancam dengan keras orang yang berdusta mengatasnamakan beliau,
“Barang siapa yang sengaja berdusta mengatasnamakan aku maka hendaknya dia menyediakan tempat duduknya dari api neraka.” (Muttafaq ‘alaih)
3. Menyebabkan Benci terhadap Sunnah dan Ahlinya.
Ini merupakan salah satu bahaya bid’ah, sebagaimana dikatakan oleh Imam Ismail bin Abdur Rahman ash-Shabuni, “Tanda-tanda ahli bid’ah adalah sangat jelas dan terang, dan di antara tanda-tandanya yang paling nyata adalah kerasnya permusuhan serta penghinaan mereka terhadap orang yang membawakan khabar dari Nabi.” (Aqidah Ahlussunnah Ashhabul Hadits, hal 299)
4. Amalannya Tertolak
Berdasarkan sabda Nabi,
“Barang siapa mengada-adakan perkara baru dalam urusan kami (agama) ini, apa yang bukan dari bagiannya maka dia tertolak.” Dan dalam riwayat yang lain disebutkan, “Barang siapa mengerjakan suatu amalan yang tidak ada dasar perintahnya dari kami maka dia tertolak.” (Muttafaq ‘alaih, hadits dari Aisyahradhiyallahu ‘anha)
5. Lebih Berbahaya Dibanding Maksiat
Syetan menjerumuskan manusia dengan banyak jalan yang jika diikuti akan berakibat fatal, dan jalan yang paling berbahaya adalah kesyirikan. Kalau seseorang terlepas dari syirik, maka tahapan selanjutnya syetan menjerumuskan melalui bid’ah. Ini menunjukkan bahwa bid’ah lebih berbahaya dibanding maksiat. (periksaMadarijus Salakin, Ibnul Qayyim 1/222).
Oleh karena itu Imam Sufyan ats-Tsauri berkata, “Bid’ah itu lebih disukai oleh iblis dibanding kemaksiatan, karena (biasanya) pelaku maksiat mau bertaubat, sedangkan pelaku bid’ah sulit untuk bertaubat.” (Syarhus Sunnah, al-Baghawi, 1/216)
6. Ahli Bid’ah Pemahamannya Terbalik
Dia memandang kebaikan sebagai keburukan dan keburukan sebagai kebaikan, sunnah dibilang bid’ah dan bid’ah dikatakan sunnah. Dari Hudzaifah Ibnul Yaman dia berkata, “Demi Allah, sungguh bid’ah benar-benar akan menyebar meskipun hanya sedikit dari sunnah yang ditinggalkan.” (dikeluarkan oleh Imam Ibnu Wadhdhah).
7. Persaksian dan Riwayat Ahli Bid’ah Tidak Diterima
Para ahli ilmu, ulama hadits, fuqaha dan ahli ushul sepakat bahwa pelaku bid’ah yang sampai tingkat kufur maka riwayatnya tidak diterima. Adapun jika kebid’ahannya tidak sampai pada tingkat kufur maka ada perbedaan pendapat di antara mereka. Al-Imam an-Nawawi berpendapat bahwa jika dia bukan penyeru bid’ah, maka diterima riwayatnya sedangkan jika dia menyerukan kebid’ahannya, maka tidak diterima.
8. Terjerumus di dalam Fitnah
Allah telah berfirman, artinya,
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS. An-Nur :63)
Di dalam ayat di atas Allah menjelaskan bahwa menyelisihi Rasul akan menyebabkan manusia terjerumus di dalam fitnah atau adzab yang pedih. Orang yang melakukan bid’ah berarti telah menyelisihi Rasul dan bermaksiat kepada beliau.
9. Mubtadi’ Telah Menambahi Syari’at
Karena seorang ahli bid’ah (mubtadi’) sama saja menyatakan dirinya sebagai pembuat syariat dan penyempurna agama. Padahal di dalam surat al-Maidah ayat 3 Allah telah menjelaskan bahwa agama Islam ini telah sempurna.
10. Memcampuradukkan yang Haq dengan yang Batil
11. Menanggung Dosa Pengikutnya
Di dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah Rasulullah bersabda,
“Barang siapa yang mengajak kepada petunjuk maka dia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengikutinya dengan tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan barang siapa mengajak kepada kesesatan maka dia mendapatkan dosa seperti dosa orang yang mengikutinya dengan tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.” (HR. Muslim, 4/2060 no.2674)
12. Mendatangkan Laknat
Di dalam sebuah hadits dari Anas Rasulullah bersabda tentang orang yang membuat-buat perkara baru di Madinah, “Barang siapa membuat perkara baru di sana atau melindungi seorang pembuat perkara baru, maka dia mendapatkan laknat Allah, malaikat dan seluruh manusia. Allah tidak menerima darinya bayaran dan tebusan.” (Muttafaq ‘alaih)
13. Terhalang dari Telaga Nabi
Disebutkan di dalam beberapa riwayat yang shahih bahwa ummat Nabi akan melewati telaga beliau, siapa yang lewat akan meminum airnya, dan siapa yang telah meminum dari air telaga itu, maka dia tidak akan merasa haus selamanya. Dalam satu riwayat Rasulullah mengatakan,
“Sungguh akan mendatangiku suatu kaum yang aku mengenal mereka dan mereka mengenalku, namun kemudian terhalang antaraku dan antara mereka.” Di dalam salah satu lafazh disebutkan, “Sesungguhnya mereka adalah golonganku.” Maka dikatakan, “Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak tahu apa yang mereka ada-adakan sepeninggalmu.” Maka aku (Rasulullah) berkata, “Celaka, celaka orang yang mengubah (agama) setelahku.” (HR al-Bukhari)
14. Sedikit Berdzikir
Ahli bid’ah biasanya berdzikir dengan cara-cara yang tidak disunnah kan oleh Rasulullah. Mereka mengganti dzikir-dzikir yang warid dengan dzikir-dzikir yang bid’ah buatan mereka sendiri. Dengan demikian meskipun mereka mengucap kan lafal-lafal tertentu, namun sebenarnya mereka sedang berpaling dari dzikir yang sunnah. Maka amatlah sedikit ahli bid’ah yang berdzikir dengan sebenarnya.
15. Menyembunyikan yang Haq
Ahli bid’ah biasanya menyembunyi kan yang haq, dan tidak menyampaikan kepada para pengikutnya.
16. Memecah Belah Ummat
Ahli bid’ah adalah pemecah belah ummat, karena ketika seseorang membuat bid’ah dengan para pengikutnya, maka berarti dia telah membuat kelompok tersendiri. Maka akhirnya muncul berbagai aliran dan golongan yang beraneka ragam.
17. Boleh Disebut Keburukannya
Salah satu ghibah yang dibolehkan adalah menyebutkan keburukan ahli bid’ah yang terang-terangan dengan kebid’ahannya, dengan tujuan agar ummat berhati-hati terhadapnya.

ALLAH ADA DI ATAS LANGIT 

                      DIKUTIP DARI TULISAN: Al Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat
Imam Abu Hanifah berkata :
Artinya :
“Barangsiapa yang mengingkari sesungguhnya Allah berada di atas langit, maka sesungguhnya ia telah kafir”.

Adapun terhadap orang yang tawaqquf (diam) dengan mengatakan “aku tidak tahu apakah Tuhanku di langit atau di bumi”. Berkata Imam Abu Hanifah : “Sesungguhnya dia telah ‘Kafir !”.
Imam Malik bin Anas telah berkata :
Artinya :
“Allah berada di atas langit, sedangkan ilmunya di tiap-tiap tempat, tidak tersembunyi sesuatupun dari-Nya”.

Imam Asy-Syafi’iy telah berkata :
Artinya :
“Dan sesungguhnya Allah di atas ‘Arsy-Nya di atas langit-Nya”

Imam Ahmad bin Hambal pernah di tanya : “Allah di atas tujuh langit diatas ‘Arsy-Nya, sedangkan kekuasaan-Nya dan ilmu-Nya berada di tiap-tiap tempat.?
Jawab Imam Ahmad :
Artinya :
“Benar ! Allah di atas ‘Arsy-Nya dan tidak sesuatupun yang tersembunyi dari pengetahuan-nya”.

Imam Ali bin Madini pernah ditanya : “Apa perkataan Ahlul Jannah ?”.
Beliau menjawab :
Artinya :
“Mereka beriman dengan ru’yah (yakni melihat Allah pada hari kiamat dan di sorga khusus bagi kaum mu’minin), dan dengan kalam (yakni bahwa Allah berkata-kata), dan sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla di atas langit di atas ‘Arsy-Nya Ia istiwaa”.

Imam Tirmidzi telah berkata :
Artinya :
“Telah berkata ahli ilmu : “Dan Ia (Allah) di atas ‘Arsy sebagaimana Ia telah sifatkan diri-Nya”.
(Baca : “Al-Uluw oleh Imam Dzahabi yang diringkas oleh Muhammad Nashiruddin Al-Albani di hal : 137, 140, 179, 188, 189 dan 218. Fatwa Hamawiyyah Kubra oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah hal: 51, 52, 53, 54 dan 57).

Telah berkata Imam Ibnu Khuzaimah -Imamnya para imam- :
Artinya :
“Barangsiapa yang tidak menetapkan sesungguhnya Allah Ta’ala di atas ‘Arsy-Nya Ia istiwaa di atas tujuh langit-Nya, maka ia telah kafir dengan Tuhannya…”.
(Riwayat ini shahih dikeluarkan oleh Imam Hakim di kitabnya Ma’rifah “Ulumul Hadits” hal : 84).

Telah berkata Syaikhul Islam Imam Abdul Qadir Jailani -diantara perkataannya- :
“Tidak boleh mensifatkan-Nya bahwa Ia berada diatas tiap-tiap tempat, bahkan (wajib) mengatakan : Sesungguhnya Ia di atas langit (yakni) di atas ‘Arsy sebagaimana Ia telah berfirman :”Ar-Rahman di atas ‘Arsy Ia istiwaa (Thaha : 5). Dan patutlah memuthlakkan sifat istiwaa tanpa ta’wil sesungguhnya Ia istiwaa dengan Dzat-Nya di atas ‘Arsy. Dan keadaan-Nya di atas ‘Arsy telah tersebut pada tiap-tiap kitab yang. Ia turunkan kepada tiap-tiap Nabi yang Ia utus tanpa (bertanya):”Bagaimana caranya Allah istiwaa di atas ‘Arsy-Nya ?” (Fatwa Hamawiyyah Kubra hal : 87).

Demikianlah aqidah salaf, salah satunya ialah Imam Abdul Qadir Jailani yang di Indonesia di sembah-sembah dijadikan berhala oleh penyembah-penyembah qubur dan orang-orang bodoh. Kalau sekiranya Imam kita ini hidup pada zaman kita sekarang ini dan beliau melihat betapa banyaknya orang-orang yang menyembah dengan meminta-minta kepada beliau dengan “tawasul”, tentu beliau akan mengingkari dengan sangat keras dan berlepas diri dari qaum musyrikin tersebut.
Inna lillahi wa innaa ilaihi raaji’un !!.

Siapakah Orang-orang Yang Merugi

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Karimah Askari al-Bugisi)

Katakanlah, “Maukah kami kabarkan kepada kalian tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (al-Kahfi: 103—104)
Makna Ayat
Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di t berkata,
“Katakan.” Katakanlah, wahai Muhammad kepada manusia dengan cara memperingatkan.
“Maukah kami kabarkan kepada kalian tentang orang-orang yang paling merugi amalannya” secara mutlak?
“Yaitu (orang-orang yang) batal dan hilang seluruh apa yang mereka amalkan.”
Yaitu mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat baik dalam perbuatannya, lalu bagaimana dengan amalan-amalan yang mereka mengetahui bahwa itu batal dan bahwa (amalan tersebut) merupakan bentuk penentangan serta permusuhan terhadap Allah l dan Rasul-Nya n?
(Firman-Nya):
Katakanlah, “Sesungguhnya orang-orang yang merugi ialah orang-orang yang merugikan diri mereka sendiri dan keluarganya pada hari kiamat.” (az-Zumar: 15) [Taisirul Karimirrahman, hlm. 487—488]

Kepada Siapa Ayat Ini Ditujukan?
Terjadi perselisihan di kalangan para ulama tentang siapa yang dimaksud dalam ayat ini. Pendapat tersebut di antaranya ada yang mengatakan bahwa:
1. Mereka adalah para pendeta. Terdapat riwayat dari Sa’d bin Abi Waqqash, dari ‘Ali bin Abi Thalib c dan adh-Dhahhak. (Tafsir ath-Thabari, 16/33)
2. Pendapat lain mengatakan mereka adalah Ahlul Kitab: Yahudi dan Nasrani. Pendapat ini juga diriwayatkan dari Sa’d bin Abi Waqqash dari ‘Ali bin Abi Thalib c.
Ath-Thabari t meriwayatkan dengan sanadnya dari Mush’ab bin Sa’d bin Abi Waqqash, ia berkata, “Aku bertanya kepada ayahku tentang ayat ini. ‘Apakah (yang dimaksud) adalah Haruriyyah (Khawarij)?’
Sa’d bin Abi Waqqash (ayahnya) menjawab, “Bukan. Mereka adalah Ahlul Kitab, Yahudi dan Nasrani. Adapun Yahudi mereka telah mendustakan Muhammad n. Sedangkan Nasrani karena mereka mengingkari surga dan berkata, ‘Di dalamnya tidak ada makanan dan minuman’.” (Tafsir ath-Thabari, 16/33)
3. Pendapat lain mengatakan bahwa mereka adalah Khawarij sebagaimana yang diriwayatkan oleh ath-Thabari t dengan sanadnya dari ‘Ali bin Abi Thalib z ketika menafsirkan ayat ini, beliau berkata, “Kalian (yang dimaksud), wahai penduduk Harura’ (Khawarij, red.)!” (ath-Thabari, 11/34)
4. Pendapat yang mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang kafir penduduk Makkah. Ini diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas c. (Tafsir al-Qurthubi, 11/66)
Yang rajih (kuat) dalam menjelaskan maksud ayat ini bahwa ayat ini memiliki makna secara umum dari pendapat-pendapat yang disebutkan di atas. Mencakup setiap orang yang mengamalkan amalan yang salah dalam keadaan dia menyangka bahwa dialah yang paling baik amalannya. Pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu Jarir ath-Thabari t dalam Tafsir-nya dan demikian pula Ibnu Katsir t dalam Tafsir-nya. Hal ini sangat sesuai dengan salah satu kaidah tafsir yang masyhur:
الْعِبْرَةُ بِعُمُومِ اللَّفْظِ لاَ بِخُصُوصِ السَّبَبِ
“Yang dijadikan patokan adalah keumuman lafadz, bukan kekhususan sebab (turunnya suatu ayat).”
Ibnu Katsir t berkata, “Makna (yang diriwayatkan) dari ‘Ali z bahwa ayat yang mulia ini meliputi Khawarij sebagaimana meliputi Yahudi dan Nasrani serta selain mereka, bukan maksudnya bahwa ayat ini ditujukan kepada mereka secara khusus dan tidak kepada yang lain, namun lebih umum dari (golongan tertentu). Karena ayat ini termasuk ayat Makkiyyah sebelum adanya pembicaraan tentang Yahudi dan Nasrani, serta sebelum munculnya Khawarij sama sekali. Sehingga ayat ini pun bersifat umum terhadap setiap orang yang menyembah Allah l tidak di atas jalan yang diridhai, lalu dia menyangka bahwa dialah yang benar dan amalannya yang diterima. Padahal dialah yang keliru dan amalannya pun tertolak.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/108)
Demikian pula yang disebutkan oleh al-Harawi t. Ia menggolongkan Sufiyyah (Sufi) termasuk dalam ayat ini. Beliau t berkata, “Barang siapa yang mengaku bahwa dia bersama Muhammad n kedudukannya seperti Khidhr bersama Musa q (yakni merasa tidak berkewajiban mengikuti aturannya, ed.), hendaklah dia perbarui Islamnya. Adapun orang yang menyembah (Allah l) hanya dengan olah fisik dan menyendiri, lalu meninggalkan shalat Jum’at dan shalat jamaah, mereka tergolong orang-orang yang sesat amalannya dalam kehidupan dunia dan mereka menyangka bahwa mereka orang-orang yang berbuat kebaikan.” (ar-Raddu ‘ala al-Qa’ilin bi Wihdatil Wujud, 1/63)
Demikan pula yang disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t, yang beliau menggolongkan al-Jabriyyah (golongan ekstrem yang hanya pasrah kepada takdir) ke dalam ayat ini. Beliau berkata, “Sesungguhnya orang yang ditakdirkan menjadi bahagia (penduduk surga) maka dia pun akan dimudahkan untuk mengamalkan amalan orang yang bahagia. Sedangkan barang siapa yang ditakdirkan menjadi orang sengsara (penduduk neraka) maka sesungguhnya dia akan dimudahkan mengamalkan amalan orang yang sengsara. Seseorang dilarang untuk bersikap pasrah kepada takdir lalu meninggalkan amal. Oleh karena itu, orang yang pasrah kepada takdir yang telah ditetapkan lalu meninggalkan amalan-amalan yang diperintahkan (oleh Allah l), dia tergolong orang-orang yang paling merugi amalannya, yaitu orang-orang yang sesat amalannya dalam kehidupan dunia.” (Majmu’ Fatawa, 8/273)

Faedah Ayat
Ayat ini merupakan dalil bahwa terkadang seseorang menyimpang dan keluar dari jalan Allah l dalam keadaan dia menyangka bahwa dia berbuat baik.
Al-Qurthubi t berkata, “Ayat ini di antara dalil yang paling jelas atas kekeliruan orang yang menyangka bahwa seseorang tidak kafir kepada Allah l kecuali apabila dia sendiri memaksudkan kekafiran setelah dia mengetahui tauhid.” (Tafsir al-Qurthubi, 16/34—35)
Disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah z bahwa Rasulullah n bersabda:
إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ فِيْهَا يَزِلُّ بِهَا إِلَى النَّارِ أَبْعَدَ مِمَّا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ
“Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan suatu kalimat yang dia tidak merasa menyebabkan dia tergelincir ke dalam neraka lebih jauh dari jarak antara timur dan barat.” (Sahih, Muttafaqun ‘alaihi)
Oleh karena itu, terkadang seseorang keluar dari Islam dan menjadi kafir bukan karena dia menghendaki kekafiran, namun lantaran sebab-sebab dan faktor yang telah dijelaskan oleh para ulama dalam bab “Hukum Murtad”. Di antaranya seperti seseorang yang mencela Islam, mencela Rasulullah n, atau mengolok-olok Allah l, Rasul-Nya, atau ayat-ayat-Nya.
Allah k berfirman:
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu) tentulah mereka akan menjawab, ‘Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.’ Katakanlah, ‘Apakah dengan Allah, ayat-ayat dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok? Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan kamu (lantaran mereka bertaubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang berbuat dosa’.” (at-Taubah: 65—66)
Termasuk di antaranya adalah bila seseorang menyembah patung atau berhala, atau meminta kepada orang mati serta meminta pertolongan kepada mereka. Perbuatan ini membatalkan kalimat La ilaha illallah, karena kalimat tauhid ini menunjukkan peribadatan hanya kepada Allah l semata. Demikian pula berdoa, meminta pertolongan, ruku’, sujud, menyembah, bernadzar, dan selainnya. Barang siapa yang memalingkan hal tersebut kepada selain Allah l, baik patung, berhala, malaikat, jin, penghuni kuburan, dan selainnya dari golongan makhluk, maka sungguh dia telah menyekutukan Allah l dan tidak menjalankan konsekuensi kalimat tauhid. (Lihat Ta’liq asy-Syaikh Ibnu Baz t terhadap al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah, hlm. 34—35)
Ayat ini menunjukkan bahwa dalam beramal tidaklah cukup dengan beritikad baik atau semata-mata ikhlas, namun amalan yang dia amalkan harus sesuai dengan tuntunan Allah l dan Rasul-Nya n. Oleh karenanya, para ulama menyebutkan dua syarat yang harus dipenuhi agar suatu amalan diterima oleh Allah k, yaitu ikhlas dan mengikuti petunjuk Rasulullah n.
Allah k berfirman:
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kalian siapa di antara kalian yang lebih baik amalannya. Dan Dia Mahaperkasa lagi Maha Pengampun.” (al-Mulk: 2)
Ketika Fudhail bin Iyadh t menafsirkan firman Allah k “Siapakah di antara kalian yang paling baik amalannya,” beliau berkata, “Yaitu yang paling ikhlas dan paling benar. Sesungguhnya apabila suatu amalan ikhlas tapi tidak benar, tidaklah diterima sampai amalan itu ikhlas dan benar. Ikhlas semata-mata untuk Allah l dan benar yaitu berada di atas As-Sunnah.”
Dua syarat ini pun telah diisyaratkan oleh Rasulullah n dalam sabdanya:
إِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى أَجْسَامِكُمْ وَلاَ إِلىَ صُوَرِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلىَ قُلُوْبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada fisik (jasmani) dan bentuk tubuh kalian akan tetapi Allah melihat kepada hati-hati dan amalan kalian.” (Sahih, HR. Muslim dari Abu Hurairah z)
Sebagian ulama salaf mengatakan, “Tidaklah suatu amalan yang diamalkan melainkan dilontarkan kepadanya dua pertanyaan: untuk siapakah kamu mengamalkan itu dan bagaimana cara kamu mengamalkannya?
Pertanyaan pertama tentang sebab yang mendorong seseorang mengamalkan amalan tersebut. Apakah karena Allah k? Karena mengharapkan sesuatu dari dunia ini, untuk mendapat pujian manusia, atau takut celaan manusia dan lainnya?
Sedangkan pertanyaan kedua tentang mencontoh Rasulullah n dalam mengamalkan amalan tersebut. Apakah diambil dari sumbernya atau karena mengikuti seseorang dari makhluk selain Rasulullah n?” (az-Zuhd war Raqa’iq, Ahmad Farid, hlm. 13)
Ayat ini merupakan teguran keras serta peringatan terhadap orang-orang yang merasa dirinya beramal saleh dan menghidupkan Islam, padahal apa yang mereka amalkan sama sekali tidak berdasarkan dari sumber yang benar yaitu dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya n. Apabila dinasihati dan diperingatkan mereka mengatakan, “Maksud dan tujuan kami baik.” Seperti halnya orang-orang yang merayakan Maulid, Isra’ Mi’raj, dan semisalnya dengan alasan dalam rangka menumbuhkan rasa cinta kepada Rasulullah n. Atau seperti orang-orang yang membuat bid’ah dengan menambahkan lafadz-lafadz zikir dan membuat tata cara baru dalam berzikir yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah n.
Allah k berfirman:
“Maka apakah orang yang dijadikan (setan) menganggap baik perbuatannya yang buruk lalu dia meyakini perbuatannya itu baik (sama dengan orang yang tidak ditipu [setan])? Maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Maka janganlah dirimu binasa karena kesedihan terhadap mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” (al-Fathir: 8)
Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari hadits al-Bara’ bin ‘Azib z, ia berkata, “Telah berkata kepadaku Rasulullah n:
إِذَا أَتَيْتَ مَضْجَعَكَ فَتَوَضَّأْ وُضُوْءَكَ لِلصَّلاَةِ ثُمَّ اضْطَجِعْ عَلىَ شِقِّكَ الْأَيْمَنِ وَقُلْ: اللَّهُمَّ أَسْلَمْتُ وَجْهِي إِلَيْكَ وَفَوَّضْتُ أَمْرِي إِلَيْكَ وَأَلْجَأْتُ ظَهْرِي إِلَيْكَ رَغْبَةً وَرَهْبَةً إِلَيْكَ لاَ مَلْجَأَ وَلاَ مَنْجَا مِنْكَ إِلاَّ إِلَيْكَ، آمَنْتُ بِكِتَابِكَ الَّذِي أَنْزَلْتَ وَبِنَبِيِّكَ الَّذِي أَرْسَلْتَ؛ فَإِنْ مِتَّ مِتَّ عَلَى الْفِطْرَةِ وَاجْعَلْهُنَّ آخِرَ مَا تَقُوْلُ
Apabila kamu hendak mendatangi tempat pembaringanmu maka berwudhulah seperti wudhumu ketika shalat lalu berbaringlah di atas bagian tubuhmu yang kanan dan ucapkanlah:
‘Ya Allah, sesungguhnya aku menyerahkan diriku kepada-Mu, kuserahkan urusanku kepada-Mu, kujadikan perlindungan diriku kepada-Mu, dengan berharap dan takut hanya kepada-Mu. Tidak ada tempat berlindung dan jalan selamat kecuali kepada-Mu. Aku beriman kepada kitab-Mu yang telah Engkau turunkan dan terhadap Nabi-Mu yang telah Engkau utus.’ Jika engkau mati maka engkau akan mati di atas fitrah dan jadikanlah itu sebagai ucapan akhirmu.”
Al-Bara’ z berkata, “Aku pun mengulangi (zikir) tersebut, lalu ketika aku berkata ‘dan Rasul-Mu yang Engkau utus,’ Rasulullah n berkata, ‘Tidak, (ucapkanlah) ‘dan Nabi-Mu yang telah Engkau utus’.”
Lihatlah bagaimana Rasulullah n mengingkari al-Bara’ bin ‘Azib z ketika keliru mengucapkan kata “dan Nabi-Mu” dengan “dan Rasul-Mu” kemudian dibenarkan oleh Rasulullah n. Lalu bagaimana halnya dengan berbagai macam bentuk zikir yang dibuat-buat oleh seseorang, seperti halnya zikir yang banyak digandrungi oleh kaum muslimin sekarang ini, yakni zikir yang disebut dengan “Amaliah Zikir Taubat” yang dikarang oleh seorang ahli bid’ah sufi M. Arifin Ilham. Semoga Allah l memberi kemudahan bagi saya untuk menyelesaikan kitab bantahan terhadap zikir bid’ah ini dengan judul Bid’ahnya Amaliah Zikir Taubat.
Di sini akan saya sebutkan secara ringkas dalil yang menunjukkan batalnya amalan ini.
Diriwayatkan oleh ad-Darimi (1/79) dan al-Bazzar dalam Tarikh al-Ausath (1/198) dengan sanadnya dari ‘Amr bin Salamah al-Hamdani, ia berkata, “Di saat kami sedang duduk di depan pintu (rumah) ‘Abdullah bin Mas’ud z, menunggu beliau keluar, tiba-tiba muncul Abu Musa al-Asy’ari z yang lalu bertanya, ‘Apakah Abu ‘Abdirrahman (maksudnya ‘Abdullah bin Mas’ud z, red.) belum keluar menemui kalian?’ Kami menjawab, ‘Belum.’
Lalu dia pun duduk bersama kami sampai keluarnya ‘Abdullah bin Mas’ud z. Kami pun menemui beliau, lalu Abu Musa z berkata, ‘Wahai Abu ‘Abdirrahman, sesungguhnya tadi aku melihat di masjid suatu perkara yang aku anggap itu mungkar.’ Ibnu Mas’ud menjawab, ‘Apakah yang engkau lihat dan jika kamu hidup (lebih lama lagi) (niscaya) engkau akan melihat kemungkaran.’
Abu Musa z berkata, ‘Aku melihat di masjid ada sekumpulan orang membentuk halaqah-halaqah. Lalu setiap orang duduk pada salah satu halaqah, dan di tangan mereka ada kerikil (untuk menghitung jumlah zikir), lalu dikatakan Bertasbihlah 100 kali. Mereka pun bertasbih 100 kali. Lalu dikatakan Bertahlillah (ucapkan: laa ilaha illallah) 100 kali.’ Lalu mereka berkata lagi Bertakbirlah 100 kali. Mereka pun bertakbir 100 kali’.
Mereka pun ke masjid dan mendatangi orang-orang yang berzikir dengan cara tersebut. Lalu berkata ‘Abdullah bin Mas’ud z kepada mereka:
تَخَافُوْنَ أَلاَّ يَضِيْعَ مِنْ حَسَنَاتِكُمْ شَيْءٌ؟ عُدُّوْا سَيِّئَاتِكُمْ وَأَنَا ضَامِنٌ لِحَسَنَاتِكُمْ أَلاَّ يَضِيْعَ مِنْهَا شَيْءٌ، وَيْحَكُمْ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ، مَا أَسْرَعَ هَلَكَتُكُمْ، هَؤُلاَءِ صَحَابَةُ نَبِيِّكُمْ n مُتَوَافِرُوْنَ، وَهَذِهِ آنِيَتُهُ لَمْ تَكْسُرْ وَثِيَابُهُ لَمْ تَبْلَ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنَّكُمْ لَعَلَى مِلَّةٍ أَهْدَى مِن مِلَّةِ مُحَمَّدٍ أَوْ مُفْتَتِحُوْنَ بَابَ ضَلاَلَةٍ؟
“Apakah kalian takut hilang amalan kebaikan kalian? Hitunglah kesalahan-kesalahan kalian! Sesungguhnya aku menjamin tidak akan lenyap sedikit pun dari kebaikan kalian. Celaka kalian wahai umat Muhammad, alangkah cepatnya kebinasaan kalian! Mereka ini para sahabat Nabi n masih banyak, bejana-bejana beliau (Rasulullah) belum hancur, pakaian beliau belum usang. Demi Allah yang jiwaku di tangan-Nya, apakah kalian berada di atas satu ajaran yang lebih membimbing kepada petunjuk daripada ajaran Muhammad n ataukah kalian adalah para pembuka pintu kesesatan?”
Mereka berkata, ‘Wahai Abu ‘Abdirrahman, kami tidak menginginkan kecuali kebaikan.’ Beliau menjawab, ‘Berapa banyak orang yang menginginkan kebaikan namun dia tidak mendapatkannya’.”
Diriwayatkan dari al-Baihaqi (2/466) dan ‘Abdurrazzaq (al-Mushannaf, 3/52) dengan sanadnya dari Sa’id ibnul Musayyab t bahwa beliau melihat seseorang shalat setelah terbitnya fajar shadiq lebih dari dua rakaat, lalu memperbanyak ruku’ dan sujudnya. Beliau pun melarangnya. Lalu orang tersebut berkata, “Wahai Abu Muhammad, apakah Allah l menyiksaku karena melaksanakan shalat?”
Beliau menjawab, “Tidak, akan tetapi (Allah l) menyiksamu karena menyelisihi As-Sunnah.”
Al-‘Allamah al-Albani t berkata tatkala mengomentari riwayat ini, “Ini termasuk keindahan jawaban Sa’id ibnul Musayyab t. Dan ini merupakan senjata ampuh dalam membantah ahli bid’ah yang menganggap baik kebanyakan bid’ahnya dengan slogan bahwa itu adalah zikir dan shalat! Lalu mereka mengingkari Ahlus Sunnah yang mengingkari perbuatan mereka, dan menuduh bahwa mereka (Ahlus Sunnah, red) mengingkari zikir dan shalat!! Padahal mereka (Ahlus Sunnah) justru mengingkari penyelisihan mereka terhadap As-Sunnah (tuntunan Nabi n) dalam berzikir, shalat, dan yang semisalnya.” (Ilmu ‘Ushulil Bida’, hlm. 71—72)
Semoga Allah l memberikan hidayah kepada kaum muslimin untuk meniti jalan di atas As-Sunnah.
Wallahul Musta’an.

Senin, 20 Juni 2011

~"Ia adalah wanita terbaik sepanjang masa.."~







Ia adalah wanita yang terus hidup dalam hati suaminya sekalipun ia telah meninggal dunia. Tahun-tahun yang terus berganti tidak dapat mengikis kecintaan sang suami padanya....
Panjangnya masa tidak dapat menghapus kenangan bersamanya di hati sang suami. Bahkan sang suami terus mengenangnya dan bertutur tentang andilnya dalam ujian, kesulitan dan musibah yang dihadapi. Sang suami terus mencintainya dengan kecintaan yang mendatangkan rasa cemburu dari istri yang lain, yang dinikahi sepeninggalnya.

(Mazin bin Abdul Karim Al Farih dalam kitabnya Al Usratu bilaa Masyaakil)


Suatu hari istri beliau Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wa sallam yang lain (yakni ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha) berkata, “Aku tidak pernah cemburu kepada seorang pun dari istri Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam seperti cemburuku pada Khadijah, padahal aku tidak pernah melihatnya, akan tetapi Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam selalu menyebutnya.”

(HR. Bukhari).

Khadijah binti Khuwailid bin Asad bin ‘Abdul ‘Uzza bin Qushai.

Dialah wanita yang pertama kali dinikahi oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Bersamanya, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam membina rumah tangga harmonis yang terbimbing dengan Wahyu di Makkah. Beliau Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam tidak menikah dengan wanita lain sehingga dia meninggal dunia. Saat menikah, Khadijah Radhiyallahu ‘Anha berusia 40 tahun sementara Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam berusia 25 tahun.

Saat itu ia merupakan wanita yang paling terpandang, cantik dan sekaligus kaya. Ia menikah dengan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam tak lain karena mulianya sifat beliau, karena tingginya kecerdasan dan indahnya kejujuran beliau. Padahal saat itu sudah banyak para pemuka dan pemimpin kaum yang hendak menikahinya.

Ia adalah wanita terbaik sepanjang masa. Ia selalu memberi semangat dan keleluasaan pada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam untuk mencari kebenaran. Ia sendiri yang menyiapkan bekal untuk Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam saat beliau menyendiri dan beribadah di gua Hira’.

Seorang pun tidak akan lupa perkataannya yang masyhur yang menjadikan Nabi merasakan tenang setelah terguncang dan merasa bahagia setelah bersedih hati ketika turun Wahyu pada kali yang pertama,

“Demi Allah, Allah tidak akan menghinakanmu selama-lamanya. Karena sungguh engkau suka menyambung silaturahmi, menanggung kebutuhan orang yang lemah, menutup kebutuhan orang yang tidak punya, menjamu dan memuliakan tamu dan engkau menolong setiap upaya menegakkan kebenaran.”

(HR. Muttafaqun ‘alaih) (Mazin bin Abdul Karim Al Farih dalam kitabnya Al Usratu bilaa Masyaakil).


Saat suaminya menerima Wahyu yang kedua berisi perintah untuk mulai berjuang mendakwahkan agama Allah dan mengajak pada tauhid, ia adalah wanita pertama yang percaya bahwa suaminya adalah utusan Allah dan kemudian menyatakan keIslamannya tanpa ragu-ragu dan bimbang sedikit pun juga. Khadijah termasuk salah satu nikmat yang Allah anugerahkan pada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam.

Dia mendampingi beliau selama seperempat abad, menyayangi beliau di kala resah, melindungi beliau pada saat-saat yang kritis, menolong beliau dalam menyebarkan risalah, mendampingi beliau dalam menjalankan jihad yang berat, juga rela menyerahkan diri dan hartanya pada beliau. (Syaikh Shafiyurrahman Al Mubarakfury di dalam Sirah Nabawiyah).

Suatu kali ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha berkata pada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam setelah beliau menyebut-nyebut Khadijah,

“Seakan-akan di dunia ini tidak ada wanita lain selain Khadijah?!”

Maka beliau berkata kepada ‘Aisyah, “Khadijah itu begini dan begini.”

(HR. Bukhari).

Dalam riwayat Ahmad pada Musnad-nya disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “begini dan begini” adalah sabda beliau, “Ia beriman kepadaku ketika semua orang kufur, ia membenarkan aku ketika semua orang mendustakanku, ia melapangkan aku dengan hartanya ketika semua orang mengharamkan (menghalangi) aku dan Allah memberiku rezeki berupa anak darinya.” (Mazin bin Abdul Karim Al Farih dalam kitabnya Al Usratu bilaa Masyaakil).

Karenanya saudariku muslimah, jika engkau ingin hidup dalam hati suamimu maka sertailah dia dalam mencintai dan menegakkan agama Allah, sertailah dia dalam suka dan dukanya. Jadilah engkau seperti Khadijah hingga engkau kelak mendapatkan apa yang ia dapatkan.

Sebagaimana yang diriwayatkan dalam Shahih Bukhari, Jibril mendatangi Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam seraya berkata,

“Wahai Rasulullah, inilah Khadijah yang datang sambil membawa bejana yang di dalamnya ada lauk atau makanan atau minuman. Jika dia datang, sampaikan salam kepadanya dari Rabb-nya, dan sampaikan kabar kepadanya tentang sebuah rumah di Surga, yang di dalamnya tidak ada suara hiruk pikuk dan keletihan.”


Sahabatku muslimah, :)

"Maukah engkau menjadi Khadijah yang berikutnya...??!