Rabu, 22 Juni 2011

Siapakah Orang-orang Yang Merugi

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Karimah Askari al-Bugisi)

Katakanlah, “Maukah kami kabarkan kepada kalian tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (al-Kahfi: 103—104)
Makna Ayat
Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di t berkata,
“Katakan.” Katakanlah, wahai Muhammad kepada manusia dengan cara memperingatkan.
“Maukah kami kabarkan kepada kalian tentang orang-orang yang paling merugi amalannya” secara mutlak?
“Yaitu (orang-orang yang) batal dan hilang seluruh apa yang mereka amalkan.”
Yaitu mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat baik dalam perbuatannya, lalu bagaimana dengan amalan-amalan yang mereka mengetahui bahwa itu batal dan bahwa (amalan tersebut) merupakan bentuk penentangan serta permusuhan terhadap Allah l dan Rasul-Nya n?
(Firman-Nya):
Katakanlah, “Sesungguhnya orang-orang yang merugi ialah orang-orang yang merugikan diri mereka sendiri dan keluarganya pada hari kiamat.” (az-Zumar: 15) [Taisirul Karimirrahman, hlm. 487—488]

Kepada Siapa Ayat Ini Ditujukan?
Terjadi perselisihan di kalangan para ulama tentang siapa yang dimaksud dalam ayat ini. Pendapat tersebut di antaranya ada yang mengatakan bahwa:
1. Mereka adalah para pendeta. Terdapat riwayat dari Sa’d bin Abi Waqqash, dari ‘Ali bin Abi Thalib c dan adh-Dhahhak. (Tafsir ath-Thabari, 16/33)
2. Pendapat lain mengatakan mereka adalah Ahlul Kitab: Yahudi dan Nasrani. Pendapat ini juga diriwayatkan dari Sa’d bin Abi Waqqash dari ‘Ali bin Abi Thalib c.
Ath-Thabari t meriwayatkan dengan sanadnya dari Mush’ab bin Sa’d bin Abi Waqqash, ia berkata, “Aku bertanya kepada ayahku tentang ayat ini. ‘Apakah (yang dimaksud) adalah Haruriyyah (Khawarij)?’
Sa’d bin Abi Waqqash (ayahnya) menjawab, “Bukan. Mereka adalah Ahlul Kitab, Yahudi dan Nasrani. Adapun Yahudi mereka telah mendustakan Muhammad n. Sedangkan Nasrani karena mereka mengingkari surga dan berkata, ‘Di dalamnya tidak ada makanan dan minuman’.” (Tafsir ath-Thabari, 16/33)
3. Pendapat lain mengatakan bahwa mereka adalah Khawarij sebagaimana yang diriwayatkan oleh ath-Thabari t dengan sanadnya dari ‘Ali bin Abi Thalib z ketika menafsirkan ayat ini, beliau berkata, “Kalian (yang dimaksud), wahai penduduk Harura’ (Khawarij, red.)!” (ath-Thabari, 11/34)
4. Pendapat yang mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang kafir penduduk Makkah. Ini diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas c. (Tafsir al-Qurthubi, 11/66)
Yang rajih (kuat) dalam menjelaskan maksud ayat ini bahwa ayat ini memiliki makna secara umum dari pendapat-pendapat yang disebutkan di atas. Mencakup setiap orang yang mengamalkan amalan yang salah dalam keadaan dia menyangka bahwa dialah yang paling baik amalannya. Pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu Jarir ath-Thabari t dalam Tafsir-nya dan demikian pula Ibnu Katsir t dalam Tafsir-nya. Hal ini sangat sesuai dengan salah satu kaidah tafsir yang masyhur:
الْعِبْرَةُ بِعُمُومِ اللَّفْظِ لاَ بِخُصُوصِ السَّبَبِ
“Yang dijadikan patokan adalah keumuman lafadz, bukan kekhususan sebab (turunnya suatu ayat).”
Ibnu Katsir t berkata, “Makna (yang diriwayatkan) dari ‘Ali z bahwa ayat yang mulia ini meliputi Khawarij sebagaimana meliputi Yahudi dan Nasrani serta selain mereka, bukan maksudnya bahwa ayat ini ditujukan kepada mereka secara khusus dan tidak kepada yang lain, namun lebih umum dari (golongan tertentu). Karena ayat ini termasuk ayat Makkiyyah sebelum adanya pembicaraan tentang Yahudi dan Nasrani, serta sebelum munculnya Khawarij sama sekali. Sehingga ayat ini pun bersifat umum terhadap setiap orang yang menyembah Allah l tidak di atas jalan yang diridhai, lalu dia menyangka bahwa dialah yang benar dan amalannya yang diterima. Padahal dialah yang keliru dan amalannya pun tertolak.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/108)
Demikian pula yang disebutkan oleh al-Harawi t. Ia menggolongkan Sufiyyah (Sufi) termasuk dalam ayat ini. Beliau t berkata, “Barang siapa yang mengaku bahwa dia bersama Muhammad n kedudukannya seperti Khidhr bersama Musa q (yakni merasa tidak berkewajiban mengikuti aturannya, ed.), hendaklah dia perbarui Islamnya. Adapun orang yang menyembah (Allah l) hanya dengan olah fisik dan menyendiri, lalu meninggalkan shalat Jum’at dan shalat jamaah, mereka tergolong orang-orang yang sesat amalannya dalam kehidupan dunia dan mereka menyangka bahwa mereka orang-orang yang berbuat kebaikan.” (ar-Raddu ‘ala al-Qa’ilin bi Wihdatil Wujud, 1/63)
Demikan pula yang disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t, yang beliau menggolongkan al-Jabriyyah (golongan ekstrem yang hanya pasrah kepada takdir) ke dalam ayat ini. Beliau berkata, “Sesungguhnya orang yang ditakdirkan menjadi bahagia (penduduk surga) maka dia pun akan dimudahkan untuk mengamalkan amalan orang yang bahagia. Sedangkan barang siapa yang ditakdirkan menjadi orang sengsara (penduduk neraka) maka sesungguhnya dia akan dimudahkan mengamalkan amalan orang yang sengsara. Seseorang dilarang untuk bersikap pasrah kepada takdir lalu meninggalkan amal. Oleh karena itu, orang yang pasrah kepada takdir yang telah ditetapkan lalu meninggalkan amalan-amalan yang diperintahkan (oleh Allah l), dia tergolong orang-orang yang paling merugi amalannya, yaitu orang-orang yang sesat amalannya dalam kehidupan dunia.” (Majmu’ Fatawa, 8/273)

Faedah Ayat
Ayat ini merupakan dalil bahwa terkadang seseorang menyimpang dan keluar dari jalan Allah l dalam keadaan dia menyangka bahwa dia berbuat baik.
Al-Qurthubi t berkata, “Ayat ini di antara dalil yang paling jelas atas kekeliruan orang yang menyangka bahwa seseorang tidak kafir kepada Allah l kecuali apabila dia sendiri memaksudkan kekafiran setelah dia mengetahui tauhid.” (Tafsir al-Qurthubi, 16/34—35)
Disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah z bahwa Rasulullah n bersabda:
إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ فِيْهَا يَزِلُّ بِهَا إِلَى النَّارِ أَبْعَدَ مِمَّا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ
“Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan suatu kalimat yang dia tidak merasa menyebabkan dia tergelincir ke dalam neraka lebih jauh dari jarak antara timur dan barat.” (Sahih, Muttafaqun ‘alaihi)
Oleh karena itu, terkadang seseorang keluar dari Islam dan menjadi kafir bukan karena dia menghendaki kekafiran, namun lantaran sebab-sebab dan faktor yang telah dijelaskan oleh para ulama dalam bab “Hukum Murtad”. Di antaranya seperti seseorang yang mencela Islam, mencela Rasulullah n, atau mengolok-olok Allah l, Rasul-Nya, atau ayat-ayat-Nya.
Allah k berfirman:
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu) tentulah mereka akan menjawab, ‘Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.’ Katakanlah, ‘Apakah dengan Allah, ayat-ayat dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok? Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan kamu (lantaran mereka bertaubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang berbuat dosa’.” (at-Taubah: 65—66)
Termasuk di antaranya adalah bila seseorang menyembah patung atau berhala, atau meminta kepada orang mati serta meminta pertolongan kepada mereka. Perbuatan ini membatalkan kalimat La ilaha illallah, karena kalimat tauhid ini menunjukkan peribadatan hanya kepada Allah l semata. Demikian pula berdoa, meminta pertolongan, ruku’, sujud, menyembah, bernadzar, dan selainnya. Barang siapa yang memalingkan hal tersebut kepada selain Allah l, baik patung, berhala, malaikat, jin, penghuni kuburan, dan selainnya dari golongan makhluk, maka sungguh dia telah menyekutukan Allah l dan tidak menjalankan konsekuensi kalimat tauhid. (Lihat Ta’liq asy-Syaikh Ibnu Baz t terhadap al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah, hlm. 34—35)
Ayat ini menunjukkan bahwa dalam beramal tidaklah cukup dengan beritikad baik atau semata-mata ikhlas, namun amalan yang dia amalkan harus sesuai dengan tuntunan Allah l dan Rasul-Nya n. Oleh karenanya, para ulama menyebutkan dua syarat yang harus dipenuhi agar suatu amalan diterima oleh Allah k, yaitu ikhlas dan mengikuti petunjuk Rasulullah n.
Allah k berfirman:
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kalian siapa di antara kalian yang lebih baik amalannya. Dan Dia Mahaperkasa lagi Maha Pengampun.” (al-Mulk: 2)
Ketika Fudhail bin Iyadh t menafsirkan firman Allah k “Siapakah di antara kalian yang paling baik amalannya,” beliau berkata, “Yaitu yang paling ikhlas dan paling benar. Sesungguhnya apabila suatu amalan ikhlas tapi tidak benar, tidaklah diterima sampai amalan itu ikhlas dan benar. Ikhlas semata-mata untuk Allah l dan benar yaitu berada di atas As-Sunnah.”
Dua syarat ini pun telah diisyaratkan oleh Rasulullah n dalam sabdanya:
إِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى أَجْسَامِكُمْ وَلاَ إِلىَ صُوَرِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلىَ قُلُوْبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada fisik (jasmani) dan bentuk tubuh kalian akan tetapi Allah melihat kepada hati-hati dan amalan kalian.” (Sahih, HR. Muslim dari Abu Hurairah z)
Sebagian ulama salaf mengatakan, “Tidaklah suatu amalan yang diamalkan melainkan dilontarkan kepadanya dua pertanyaan: untuk siapakah kamu mengamalkan itu dan bagaimana cara kamu mengamalkannya?
Pertanyaan pertama tentang sebab yang mendorong seseorang mengamalkan amalan tersebut. Apakah karena Allah k? Karena mengharapkan sesuatu dari dunia ini, untuk mendapat pujian manusia, atau takut celaan manusia dan lainnya?
Sedangkan pertanyaan kedua tentang mencontoh Rasulullah n dalam mengamalkan amalan tersebut. Apakah diambil dari sumbernya atau karena mengikuti seseorang dari makhluk selain Rasulullah n?” (az-Zuhd war Raqa’iq, Ahmad Farid, hlm. 13)
Ayat ini merupakan teguran keras serta peringatan terhadap orang-orang yang merasa dirinya beramal saleh dan menghidupkan Islam, padahal apa yang mereka amalkan sama sekali tidak berdasarkan dari sumber yang benar yaitu dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya n. Apabila dinasihati dan diperingatkan mereka mengatakan, “Maksud dan tujuan kami baik.” Seperti halnya orang-orang yang merayakan Maulid, Isra’ Mi’raj, dan semisalnya dengan alasan dalam rangka menumbuhkan rasa cinta kepada Rasulullah n. Atau seperti orang-orang yang membuat bid’ah dengan menambahkan lafadz-lafadz zikir dan membuat tata cara baru dalam berzikir yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah n.
Allah k berfirman:
“Maka apakah orang yang dijadikan (setan) menganggap baik perbuatannya yang buruk lalu dia meyakini perbuatannya itu baik (sama dengan orang yang tidak ditipu [setan])? Maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Maka janganlah dirimu binasa karena kesedihan terhadap mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” (al-Fathir: 8)
Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari hadits al-Bara’ bin ‘Azib z, ia berkata, “Telah berkata kepadaku Rasulullah n:
إِذَا أَتَيْتَ مَضْجَعَكَ فَتَوَضَّأْ وُضُوْءَكَ لِلصَّلاَةِ ثُمَّ اضْطَجِعْ عَلىَ شِقِّكَ الْأَيْمَنِ وَقُلْ: اللَّهُمَّ أَسْلَمْتُ وَجْهِي إِلَيْكَ وَفَوَّضْتُ أَمْرِي إِلَيْكَ وَأَلْجَأْتُ ظَهْرِي إِلَيْكَ رَغْبَةً وَرَهْبَةً إِلَيْكَ لاَ مَلْجَأَ وَلاَ مَنْجَا مِنْكَ إِلاَّ إِلَيْكَ، آمَنْتُ بِكِتَابِكَ الَّذِي أَنْزَلْتَ وَبِنَبِيِّكَ الَّذِي أَرْسَلْتَ؛ فَإِنْ مِتَّ مِتَّ عَلَى الْفِطْرَةِ وَاجْعَلْهُنَّ آخِرَ مَا تَقُوْلُ
Apabila kamu hendak mendatangi tempat pembaringanmu maka berwudhulah seperti wudhumu ketika shalat lalu berbaringlah di atas bagian tubuhmu yang kanan dan ucapkanlah:
‘Ya Allah, sesungguhnya aku menyerahkan diriku kepada-Mu, kuserahkan urusanku kepada-Mu, kujadikan perlindungan diriku kepada-Mu, dengan berharap dan takut hanya kepada-Mu. Tidak ada tempat berlindung dan jalan selamat kecuali kepada-Mu. Aku beriman kepada kitab-Mu yang telah Engkau turunkan dan terhadap Nabi-Mu yang telah Engkau utus.’ Jika engkau mati maka engkau akan mati di atas fitrah dan jadikanlah itu sebagai ucapan akhirmu.”
Al-Bara’ z berkata, “Aku pun mengulangi (zikir) tersebut, lalu ketika aku berkata ‘dan Rasul-Mu yang Engkau utus,’ Rasulullah n berkata, ‘Tidak, (ucapkanlah) ‘dan Nabi-Mu yang telah Engkau utus’.”
Lihatlah bagaimana Rasulullah n mengingkari al-Bara’ bin ‘Azib z ketika keliru mengucapkan kata “dan Nabi-Mu” dengan “dan Rasul-Mu” kemudian dibenarkan oleh Rasulullah n. Lalu bagaimana halnya dengan berbagai macam bentuk zikir yang dibuat-buat oleh seseorang, seperti halnya zikir yang banyak digandrungi oleh kaum muslimin sekarang ini, yakni zikir yang disebut dengan “Amaliah Zikir Taubat” yang dikarang oleh seorang ahli bid’ah sufi M. Arifin Ilham. Semoga Allah l memberi kemudahan bagi saya untuk menyelesaikan kitab bantahan terhadap zikir bid’ah ini dengan judul Bid’ahnya Amaliah Zikir Taubat.
Di sini akan saya sebutkan secara ringkas dalil yang menunjukkan batalnya amalan ini.
Diriwayatkan oleh ad-Darimi (1/79) dan al-Bazzar dalam Tarikh al-Ausath (1/198) dengan sanadnya dari ‘Amr bin Salamah al-Hamdani, ia berkata, “Di saat kami sedang duduk di depan pintu (rumah) ‘Abdullah bin Mas’ud z, menunggu beliau keluar, tiba-tiba muncul Abu Musa al-Asy’ari z yang lalu bertanya, ‘Apakah Abu ‘Abdirrahman (maksudnya ‘Abdullah bin Mas’ud z, red.) belum keluar menemui kalian?’ Kami menjawab, ‘Belum.’
Lalu dia pun duduk bersama kami sampai keluarnya ‘Abdullah bin Mas’ud z. Kami pun menemui beliau, lalu Abu Musa z berkata, ‘Wahai Abu ‘Abdirrahman, sesungguhnya tadi aku melihat di masjid suatu perkara yang aku anggap itu mungkar.’ Ibnu Mas’ud menjawab, ‘Apakah yang engkau lihat dan jika kamu hidup (lebih lama lagi) (niscaya) engkau akan melihat kemungkaran.’
Abu Musa z berkata, ‘Aku melihat di masjid ada sekumpulan orang membentuk halaqah-halaqah. Lalu setiap orang duduk pada salah satu halaqah, dan di tangan mereka ada kerikil (untuk menghitung jumlah zikir), lalu dikatakan Bertasbihlah 100 kali. Mereka pun bertasbih 100 kali. Lalu dikatakan Bertahlillah (ucapkan: laa ilaha illallah) 100 kali.’ Lalu mereka berkata lagi Bertakbirlah 100 kali. Mereka pun bertakbir 100 kali’.
Mereka pun ke masjid dan mendatangi orang-orang yang berzikir dengan cara tersebut. Lalu berkata ‘Abdullah bin Mas’ud z kepada mereka:
تَخَافُوْنَ أَلاَّ يَضِيْعَ مِنْ حَسَنَاتِكُمْ شَيْءٌ؟ عُدُّوْا سَيِّئَاتِكُمْ وَأَنَا ضَامِنٌ لِحَسَنَاتِكُمْ أَلاَّ يَضِيْعَ مِنْهَا شَيْءٌ، وَيْحَكُمْ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ، مَا أَسْرَعَ هَلَكَتُكُمْ، هَؤُلاَءِ صَحَابَةُ نَبِيِّكُمْ n مُتَوَافِرُوْنَ، وَهَذِهِ آنِيَتُهُ لَمْ تَكْسُرْ وَثِيَابُهُ لَمْ تَبْلَ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنَّكُمْ لَعَلَى مِلَّةٍ أَهْدَى مِن مِلَّةِ مُحَمَّدٍ أَوْ مُفْتَتِحُوْنَ بَابَ ضَلاَلَةٍ؟
“Apakah kalian takut hilang amalan kebaikan kalian? Hitunglah kesalahan-kesalahan kalian! Sesungguhnya aku menjamin tidak akan lenyap sedikit pun dari kebaikan kalian. Celaka kalian wahai umat Muhammad, alangkah cepatnya kebinasaan kalian! Mereka ini para sahabat Nabi n masih banyak, bejana-bejana beliau (Rasulullah) belum hancur, pakaian beliau belum usang. Demi Allah yang jiwaku di tangan-Nya, apakah kalian berada di atas satu ajaran yang lebih membimbing kepada petunjuk daripada ajaran Muhammad n ataukah kalian adalah para pembuka pintu kesesatan?”
Mereka berkata, ‘Wahai Abu ‘Abdirrahman, kami tidak menginginkan kecuali kebaikan.’ Beliau menjawab, ‘Berapa banyak orang yang menginginkan kebaikan namun dia tidak mendapatkannya’.”
Diriwayatkan dari al-Baihaqi (2/466) dan ‘Abdurrazzaq (al-Mushannaf, 3/52) dengan sanadnya dari Sa’id ibnul Musayyab t bahwa beliau melihat seseorang shalat setelah terbitnya fajar shadiq lebih dari dua rakaat, lalu memperbanyak ruku’ dan sujudnya. Beliau pun melarangnya. Lalu orang tersebut berkata, “Wahai Abu Muhammad, apakah Allah l menyiksaku karena melaksanakan shalat?”
Beliau menjawab, “Tidak, akan tetapi (Allah l) menyiksamu karena menyelisihi As-Sunnah.”
Al-‘Allamah al-Albani t berkata tatkala mengomentari riwayat ini, “Ini termasuk keindahan jawaban Sa’id ibnul Musayyab t. Dan ini merupakan senjata ampuh dalam membantah ahli bid’ah yang menganggap baik kebanyakan bid’ahnya dengan slogan bahwa itu adalah zikir dan shalat! Lalu mereka mengingkari Ahlus Sunnah yang mengingkari perbuatan mereka, dan menuduh bahwa mereka (Ahlus Sunnah, red) mengingkari zikir dan shalat!! Padahal mereka (Ahlus Sunnah) justru mengingkari penyelisihan mereka terhadap As-Sunnah (tuntunan Nabi n) dalam berzikir, shalat, dan yang semisalnya.” (Ilmu ‘Ushulil Bida’, hlm. 71—72)
Semoga Allah l memberikan hidayah kepada kaum muslimin untuk meniti jalan di atas As-Sunnah.
Wallahul Musta’an.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar